Jumat, 31 Desember 2010

pasar sandang tegalgubug saat mau menjelang lebaran


Cirebon - Kemacetan menghadang pemudik yang hendak menuju Cirebon, Jawa Barat. Gara-gara ada hari pasaran di Pasar Tegal Gubug, lalu lintas menuju Cirebon macet. Namun, polisi telah menyiapkan jalan alternatif.

Pengamatan detikcom, Sabtu (4/9/2010), kemacetan mulai dari 1 km sebelum Pasar Tegal Gubug. Kemacetan lahir karena Hari Jumat sore hingga Sabtu sore digelar hari pasaran. Selain itu, hari pasaran di Pasar Tegal Gubug juga digelar pada Selasa sore hingga Rabu sore.

Pasar tumpah ini memakan badan jalan. Kemacetan diperparah dengan banyaknya angkot, becak yang ngetem. Begitu juga dengan pedagang dan pembeli yang bersliweran di pasar itu. Truk besar juga masih berlalu lalalng menambah keruwetan jalan.

Aparat Kepolisian mengalihkan kendaraan ke sebelah kanan jalan. Pemudik dari arah Jakarta diberi prioritas 3 lajur.

Sedangkan arah sebaliknya menuju Jakarta hanya dibuka 1 lajur. Akibatnya, kendaraan menuju Jakarta macet sepanjang 2 km. Putaran-putaran di depan, sebelum maupun sesudah pasar juga telah ditutup guna mengantisipasi kemacetan.

Polisi telah menyiapkan skenario cadangan lainnya, yakni dengan memasang plang berukuran 2x2 meter bertuliskan "Jalan alternatif jawa tengah ke kanan." Plang itu dipasang di median jalan.

Apabila melewati jalan alternatif, kendaraan dialihkan melalui jalan kampung yang menghindari Pasar Tegal Gubug. Kendaraan lalu tembus di samping RSUD Arjawinangun. Banyak kendaraan yang mencoba jalan alternatif itu.
Ratusan petugas disiagakan di setiap pasar tumpah di wilayah Kabupaten Cirebon. Tujuannya untuk menjaga kelancaran lalu lintas di jalur pantura.

Berdasarkan pantauan di Pasar Tegalgubug, yang terletak di Kecamatan Arjawinangun, Kabupaten Cirebon,
Selasa (15/9), arus lalu lintas cukup lancar.

Kendaraan, baik mobil maupun motor, terlihat ramai namun mereka tetap bisa berjalan dengan lancar. Sesekali kendaraan memang berhenti, namun hanya karena dihentikan petugas untuk menyeberangkan orang secara berkelompok. Petugas keamanan pun terlihat berjaga-jaga membentuk pagar betis di sisi jalan.

Selain itu, angkutan umum, baik bus, angkot maupun becak tidak diperbolehkan ngetem di depan pasar ini. Dengan begitu, hingga siang ini lalu lintas pemudik di depan pasar Tegalgubug terlihat lancar tanpa kendala.

Kapolres Cirebon, AKBP Arief Ramdhani, saat dikonfirmasi mengungkapkan pihaknya sudah menyiagakan aparat sejak Jumat malam sekitar pukul 23.00 WIB. "Sebelum aktivitas di Pasar Tegalgubug dimulai, kami sudah menyiagakan petugas kami," katanya.

Ada 2 pleton Dalmas (1 pleton sekitar 60 orang) yang disiagakan secara bergantian. "Satu pleton mulai bersiaga dari pukul 23.00 WIB hingga pukul 08.00 WIB,sedangkan satu pleton lagi berjaga dari pukul 08.00 WIB hingga siang ini," katanya.

Satuan dari Dalmas, turut diterjunkan pula 3 regu lalu lintas, serta bantuan dari personil lain seperti dari TNI dan Satpol PP.

Saat ditanyakan pengamanan untuk hari pasaran esok, Rabu (16/9) di Pasar Gebang, Arief pun mengungkapkan hal yang sama. "Perlakuan yang sama akan kami lakukan di Pasar Gebang dan pasar-pasar lainnya di jalur pantura saat memasuki hari pasarannya," katanya. Yang terpenting, lanjut Arief yaitu menjaga kelancaran lalu lintas selama arus mudik dan
balik mendatang.

Berdasarkan pantauan, pantura Indramayu-Cirebon sudah mulai dipenuhi pemudik. Dari catatan di pos penghitungan kendaraan Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informasi Kabupaten Indramayu, pada Selasa (15/9) peningkatan arus mudik pengguna sepeda motor mulai terjadi sejak pukul 04.00 WIB. Saat itu jumlah pemudik bersepeda motor dari arah Jakarta yang melintas
mencapai lebih dari 1.000 unit perjam.


Sedangkan puncak arus mudik pengguna sepeda motor terjadi pada pukul 08.00 WIB hingga 09.00 WIB. Dari total 3.228 kendaraan yang melintas, sebanyak 2.187 unit diantaranya merupakan sepeda motor.

Pada pukul 09.00-10.00 WIB, total kendaraan yang melintas mencapai 2.700 unit. Dari jumlah tersebut, pemudik sepeda motor mencapai 1.871 unit. "Setelah lewat dari jam 10.00 WIB, arus kendaraan jauh berkurang," ujar petugas pencatat di Pos Penghitungan Kendaraan Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informasi Kabupaten Indramayu, Edi Setiadi.

Namun pemudik sepeda motor masih melakukan sejumlah pelanggaran. Di antaranya membawa muatan lebih dari dua orang. Bahkan ada satu motor membawa 4 orang, bersama dua anaknya. Selain itu, mereka pun memasang kayu di belakang motor yang digunakan untuk membawa tas. Akibatnya muatannya pun semakin bertambah. Pemudik pengguna sepeda motor pun banyak yang tidak menyalakan lampu besar saat mudik.

pasar sandang tegalgubug

Pasar Induk Sandang Tegalgubug yang dikenal murah meriah ini (diperkirakan) merupakan Pasar Induk Sandang terbesar di Indonesia bahkan Asia Tenggara. Dengan Hari pasar dua kali seminggu (selasa dan Sabtu), pasar ini ramai dikunjungi pedagang dan pembeli baik dari cirebon sendiri maupun dari luar cirebon, seperti Jawa, Sumatra, Kalimantan bahkan dari luar negeri.
Pasar sandang tegalgubug ini selalu ramai apalagi kalau mau datang bulan Ramadhan dan Hari raya, bahkan tahun baru sekaligus.

Melalui promosi dari mulut ke mulut, Pasar Tegalgubug pun semakin dikenal. Apalagi, lokasinya di sisi jalur utama pantura penghubung Jakarta dan Jateng, menjadikan Pasar Tegalgubug sangat mudah untuk dijangkau
Terik matahari yang membakar pesisir pantai utara (pantura) Cirebon perlahan menghilang. Sinarnya yang begitu garang, kini mulai tergantikan dengan semburat lembayung berwarna keemasan. Burung-burung di langit pun terbang beriringan kembali ke sarang.

Senja yang semakin gelap, tak membuat aktivitas warga di Desa Tegalgubug dan Desa Tegalgubug Lor, Kecamatan Arjawinangun, Kabupaten Cirebon, Jabar, menjadi sepi. Warga di dua desa yang bertetangga itu justru menunjukkan sisi kehidupannya yang lain. Remaja putra dan putri berpakaian muslim rapi berbondong-bondong pergi ke masjid dan mushala yang banyak berdiri di dua desa tersebut. Nuansa relijius yang tampak dalam kehidupan warga di kampung santri itu, memang tak lepas dari pengaruh keberadaan pondok pesantren yang juga banyak berdiri sejak puluhan tahun silam.

Tak hanya itu, aktivitas warga di kedua desa tersebut tak berhenti sebatas pelaksanaan ibadah ritual semata. Nilai Islam yang mengajarkan agar setiap muslim harus menjadi kuat dalam segala hal, termasuk bidang perekonomian, benar-benar mereka laksanakan. Melalui kegiatan perdagangan, mereka berupaya menjemput rezeki dari Sang Maha Pemberi Kekayaan.

Bidang perdagangan yang mereka lakukan itu berupa penjualan bahan-bahan sandang yang dipusatkan di Pasar Tegalgubug, yang berjarak kurang lebih 500 meter dari desa mereka. Tak hanya pakaian jadi, namun barang-barang lain yang mereka jual adalah bahan dasar pakaian, kerudung, taplak meja, gorden, seprei, maupun bahan sandang lainnya. Barang-barang yang dijual di Pasar Tegalgubug itu asli buatan tangan mereka sendiri.

Setiap hari, denyut kehidupan warga di dua desa itu seolah tak pernah mati. Deru mesin jahit dan hamparan kain yang akan dibuat menjadi barang sandang siap pakai, akan mudah ditemui dalam keseharian sekitar 6.000 warga di Desa Tegalgubug dan 8.124 warga di Desa Tegalgubug Lor. Proses pembuatan barang-barang sandang tersebut dilakukan di rumah masing-masing warga. Aktivitas itu dengan sendirinya telah menjadikan kedua desa tersebut sebagai kawasan home industry.

Desa Tegalgubug dan Desa Tegalgubug Lor terbagi menjadi lima blok, yakni blok satu sampai blok lima . Setiap blok itu masing-masing memiliki produk keunggulan. Untuk Blok Satu, produk yang diunggulkan berupa pakaian jadi, Blok Dua unggul dalam produk kelambu tempat tidur dan taplak meja. Blok Tiga unggul dalam produk kerudung maupun pakaian jadi. Blok Empat unggul dalam penjualan bahan dasar pakaian, dan blok lima unggul dalam produk seprei dan sarung bantal, taplak meja, maupun celana panjang.

Seluruh produk yang mereka buat itu selalu disesuaikan dengan tren yang sedang berkembang di tengah-tengah masyarakat, atau yang sering dikenakan para artis sinetron terkenal yang sedang naik daun. Bahkan, mereka pun menamakan produknya sesuai dengan nama artis atau tokoh yang mengenakan model pakaian tersebut. Karenanya, jangan heran jika menemukan ada kerudung ‘Benazir’ (Bhuto), kerudung ‘Teh Ninih’, baju ‘A Rafiq’, baju ‘Talita’ (sinetron Cahaya), ataupun baju ‘Azizah’ (sinetron Azizah).

Barang-barang sandang yang telah mereka produksi itu lantas dijual di Pasar Tegalgubug. Namun, keberadaan pasar itu tidak berlangsung setiap hari, hanya Selasa dan Sabtu yang menjadi hari ‘pasaran’ di pasar tersebut. Karenanya, setiap Senin dan Jumat sore, ribuan warga di dua desa itu akan berduyun-duyun mengangkut barang dagangan yang telah mereka produksi ke pasar tersebut, baik dengan menggunakan mobil bak terbuka ataupun becak.

Aktivitas perdagangan di Pasar Tegalgubug biasa dimulai selepas sholat Isya hingga keesokan harinya sekitar pukul 14.00 WIB. Para pembeli yang datang ke pasar tersebut tak hanya berasal dari wilayah Cirebon , melainkan juga berasal dari berbagai daerah lainnya di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi , Nusa Tenggara, hingga negeri jiran Malaysia, bahkan negeri jauh seperti Afrika Selatan, Korea Selatan, maupun Nigeria. Selain kualitas yang bagus dan ketersediaan model pakaian yang lengkap, Pasar Tegalgubug pun diburu para pembeli karena harganya yang jauh lebih murah dibandingkan harga barang serupa di pusat perbelanjaan ataupun di toko biasa.

Salah seorang tokoh masyarakat setempat, Ir H Maslani Samad (47), menjelaskan, sejarah Pasar Tegalgubug dimulai sekitar tahun 1914. Saat itu, warga setempat menggantungkan hidupnya dengan membuat dan menjual kemben, yakni perlengkapan kebaya kaum perempuan pada masa itu. Pasalnya, kaum perempuan di Tegalgubug memang mahir dalam menjahit. Para pembeli kemben itu berasal dari luar wilayah Cirebon . Mereka berdatangan dengan menggunakan pedati pada malam hari. Karena itulah, hingga kini, aktivitas perdagangan di Pasar Tegalgubug telah dimulai sejak malam hari sebelum ‘hari pasaran’ tiba.

Seiring berlalunya waktu, aktivitas perdagangan di Pasar Tegalgubug pun terus berjalan. Namun, aktivitas perdagangan itu belum dapat meningkatkan perekonomian masyarakat setempat. Karenanya, kaum lelaki di desa tersebut lantas merantau ke Bandung untuk menjadi tukang becak. Tahun 1960-an, di Bandung mulai menjamur industri tekstil. Seringkali, pabrik-pabrik tekstil itu membuang sisa-sisa kain yang tidak mereka gunakan.

‘’Melihat hal itu, para tukang becak yang berasal dari Tegalgubug memungut sisa-sisa kain tersebut dan membawanya pulang. Mereka yakin kain-kain itu dapat dimanfaatkan bila diolah lebih lanjut oleh istri mereka yang memang pandai menjahit,’’ ujar H Maslani.

Keyakinan para tukang becak itu memang tidak keliru. Kain-kain sisa yang telah dijahit menjadi pakaian jadi itu, sangat laku dijual di Pasar Tegalgubug. Bahkan, permintaan pun terus meningkat hingga akhirnya mereka tak lagi hanya menggunakan kain sisa untuk dijahit menjadi pakaian jadi, melainkan juga membeli kain secara utuh.

Melalui promosi dari mulut ke mulut, keberadaan Pasar Tegalgubug pun semakin dikenal. Apalagi, lokasinya yang terletak di sisi jalur utama pantura penghubung Jakarta dan Jateng, menjadikan Pasar Tegalgubug sangat mudah untuk dijangkau oleh para pembeli yang datang dari berbagai daerah. Tercatat, ada sekitar 5.000 pedagang yang kini berjualan di Pasar Tegalgubug.

‘’Barang-barang di Pasar Tegalgubug sangat laku hingga perputaran uang di pasar ini bisa mencapai kurang lebih Rp 5 miliar untuk setiap hari pasaran. Dengan demikian, jika dihitung satu bulan, maka perputaran uang di pasar ini bisa mencapai kurang lebih Rp 40 miliar,’’ tutur H Maslani, yang memiliki usaha pembuatan perlengkapan pesta pernikahan dengan nama produk Sanga Sanga Production.

Salah seorang pemilik usaha penjualan bahan dasar pakaian, Hj Sofiyatun, menuturkan, omset penjualannya untuk setiap hari pasaran rata-rata mencapai Rp 200 juta. Bahkan jika permintaan dari pembeli sedang ramai, omset penjualannya bisa mencapai Rp 500 juta untuk setiap hari pasaran.
‘’Alhamdulillah. Padahal saya memulai usaha ini dengan hanya bermodalkan awal Rp 300 ribu,’’ kata Hj Sofiyatun.

Menurut H Maslani, aktivitas perdagangan bahan sandang tersebut telah mampu mengubah tingkat perekonomian warga Desa Tegalgubug dan Desa Tegalgubug menjadi jauh lebih baik. Meski desa mereka bernama ‘gubug’ yang berarti rumah sederhana yang berdinding pagar dan beratap jerami, namun kini rumah-rumah warga di desa itu telah berubah menjadi rumah permanen berdinding dan berlantai marmer. Anak-anak mereka pun tidak sedikit yang dapat mengenyam pendidikan hingga tingkat strata satu dan strata dua di berbagai perguruan tinggi. Dan sebagai rasa syukur kehadirat Sang Mahakuasa yang telah melapangkan rezeki, mayoritas warga di dua desa itu rata-rata telah menunaikan ibadah haji, bahkan hingga beberapa kali.

‘’ Namun memang, setiap usaha pasti ada pasang surutnya,’’ tutur H Maslani.
Maslani menjelaskan, penurunan aktivitas perdagangan di Pasar Tegalgubug pernah terjadi saat harga BBM naik sangat tinggi pada tahun 2001-an, yang menyebabkan daya beli masyarakat menurun. Selain itu, faktor alam berupa gelombang laut yang tinggi juga turut berpengaruh karena pembeli di Pasar Tegalgubug banyak juga yang berasal dari luar pulau Jawa.

Berani mencoba? Datang saja ke Tegalgubug.


sejarah tegalgubug

Sejarah Terbentuknya Desa Tegalgubug


Berdasarkan kronologis sejarah. bahwa terbentuknya Desa Tegalgubug tak lepas dari perjalanan Sejarah masa lampau terbukti dari pendiri Desa Tegalgubug yaitu seorang pengawal Kanjeng Syaikh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) Salah satu wali kutub dari wali songo. Seorang pengawal/seorang panglima tinggi tersebut bernama Syaikh Muhyiddin Waliyuallah / Syaikh Abdurrohman / Ing Singa Sayakh syayuda atau lebih dikenal dengan Ki Gede Suropati (Mbah Suro).
Sebagaimana kilasan Sejarah dibawah ini:                                  
Setelah perang antara Kerajaan Telaga (kerajaan cikijing,majalengka) dan Kerajaan Galuh (kerajaan Jatiwangi,majalengka) melawan kesultanan Cirebon, kerajaan Telaga dan Galuh dapat ditaklukan, akhirnya masyarakat Telaga memeluk Islam
Kemudian Sunan Gunung Jati dalam penyiaran Agama Islam di Negeri Talaga dan Galuh mengutus beberapa orang Gegeden yang memiliki banyak ilmu dan kesaktian tingggi, untuk memberikan pengawasan terhadap tanah taklukan kesultanan Cirebon, kerana masih ada pepatih yang masih belum memeluk Agama Islam. Diantara Gegede yang diutus itu adalah Syaikh Suropati / Ki Suro. Seorang Gegede yang terkenal sakti mandraguna yang berasal dari Negeri Arab (sumber lain mengatakan dari Mesir dan Baghdad). Yang nama aslinya yaitu Syaikh Muhyiddin Waliyullah / Syaikh Abdurrahman, yang sudah dua tahun tinggal di keraton Cirebon, sabagai santi (murid) Sunan Gunung Jati, lalu setelah dianggap cukup ilmunya oleh Sunan Gunung Jati beliau diutus untuk membantu menyebarkan Ajaran Islam keseluruh pelosok penduduk Jawa Barat, dalam perjalanan penyebaran Ajaran Islam banyak mendapat tanggapan baik dari rakyat, namun tak jarang pula rintangan yang dihadapinya, beliau harus bertanding melawan penggedean pedukuhan tersebut. Namun berkat kesaktian ilmuny ayng mandraguna mereka dapat ditaklukan dan mereka mau memeluk Agama Islam.
Lalu atas jasa dan ilmu kesaktianya, Syaikh Muhyiddin diangkat oleh Sunan Gunung Jati menjadi pepatih unggulan / panglima tinggi (pengawal Sunan) dinegeri Cirebon dengan gelar Ki Gede Suropati. Setelah pemberian gelar tersebut Kanjeng Sunan memerintahkan Ki Suro bertandak ke pondok Ki Pancawal (seorng pembesar kerajaan talaga) untuk membawakan kitab suci Al-quran yang berjumlah banyak diperuntukan sebagai pedoman di Negeri Talaga dan Galuh. Namun ditengah jalan perjalanan menuju negeri Talaga Ki Suro menemui adegan sayembara merebutkan seorang putrid cantik, barang siapa yang mampu mengalahkan Ki Wadaksi (pembesar kerajaan talaga) akan dijodohkan / dikawinkan dengan putrinya yang bernama Nyi Mas Wedara, lalu Ki Suro ikut dalam sayembara tersebut Ki Suro hanya ingin mengetahui ilmu yang dimiliki oleh Ki Wadaksi, akhir Ki Suro dapat mengalahkan Ki Wadaksi dan kemudian memeluk Agama Islam bersama-sama muridnya. Tapi Ki Suro tidak menikahi Nyi Mas Wedara, namun Putri Ki Wadaksi tersebut malah diserahkan kepada Raden Palayasa yang sebelunnya mereka saling mencintai.
Kemudian Ki Suro dibawa oleh Ki Pancawala di pondoknya, dan dijamunya dengan jamuan istimewa sambil menyerakan kitab suci Al-quran. Dengan senang hati Ki Pancawala didatangi Ki Suro, namun dalam jamuan itu Ki Suro terpesona melihat putri Ki Pancawala yang bernama Nyi Mas Ratu Antra Wulan, dalam hati Ki Suro punya keninginan untuk menjadikannya pendamping hidupnya. Namun sebelum Ki Suro mengatakan keinginannya untuk meminang Nyi Mas Ratu Antra Wulan, Ki Pancawala sudah mengatakan bahwa putrinya akan diserahkan kepada Sunan Gunung Jati yang diharapkan menjadi Istrinya, dan Ki Suro bersedia untuk mengatarkanya ke keraton Cirebon.
Dalam perjalanan menuju keraton Cirebon, sangatlah panjang dari masuk dan keluar hutan sampai naik dan turun gunung. Dalam suatu perjalanan mereka mendapati sebuah Gubug kecil ditengah-tengah hutan belantara, Ki Suro meminta beristiharat sebentar untuk menghilangkan rasa letihnya. Setelah itu mereka melanjutkan perlajalanannya menuju keraton Cirebon, namun sebelum Ki Suro menlajutkan perjalanan tiba-tiba dikejutkan dengan kedatngan Nyi Mas Rara Anten, yang meminta Nyi Mas Ratu Antra Wulan untuk dijodohkan dengan putranya. Kemudian terjadilah perang tanding yang seru pada akhirnya Nyi Mas Ratu Anten dapat dikalahkan.
Perjalanan dilanjutkan kembali, setelah sampainya di keraton Cirebon, Ki Suro menyerahkan Nyi Mas Ratu Antra Wulan dan menyampaikan amanat Ki Pancawala kepada Sunun Gunung Jati. Namun amanat Ki Pancawal yang menginginkan anaknya menikah dengan Sunan Gunung Jati tidak diterima dengan cara halus, karena Sunan Gunung Jati sesungguhnya telah mengetahui bahwa Ki Suro menyukai Nyi Mas Ratu Antra Wulan. Karena itu Sunan Gunung Jati memerintahkan Ki Suro menikahi Nyi Mas Rtau Antra Wulan.
Setelah Ki Suro dan Nyi Mas Ratu Antra Wulan menjadi suami istri, mereka membangun pedukuhan / perkampungan disebuah tegalan ditengah-tengah hutan yang dahulu terdapat sebuah gubug kecil yang mereka pernah singgahi sewaktu perjalanan dari kerajaan Talaga menuju keraton Cirebon.
Pedukuhan itu atas izin dan restu dari Sunan Gunung Jati, dan diberi nama “Tegal Gubug” yang mana nama tersebut terdiri dari dua suku kata yaitu :
> Tegal artinya : Tanah yang dicangkul untuk ditanami
> Gubug artinya : Rumah kecil yang terbuat dari bambu dan atapnya dari daun tebu
> Tegal gubug : Sebuah rumah kecil yang sangat sederhana terbuat dari bamboo, yang sekitarnya terdapat tegalan (galengan) yang siap ditanami.
Peristiwa terbentuknya nama Tegal Gubug ini terjadi sekitar 1489 M. [ Sekitar akhir abad ke 15 ] pada saat kesultanan Cirebon dipimpin oleh kanjeng Syaikh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) Cirebon. Yang merupakan salah satu Wali dari Walisongo, yang dituahkan ilmunya oleh Rekan-rekannya.
Setelah terbentuk sebuah nama pedukuhan / perkampungan Tegal Gubug, kemudian Ki Suro melanjutkan misinya untuk terus menyebarkan Ajaran Islam. Terbukti dengan pesatnya Agama Islam disekitar Masyaratnya, yang ketika itu masih mempercayai (menganut, menyembah) Agama Nenek moyangnya yaitu : Animisme (aliran/kepercayaan terhadap benda) dan Dinamisme (aliran/kepercayaan terhadap Roh) dan Hindu, Budha.
Narasumber :
1. KH. Rohmatullah
2. K. Miftah (mang tak Alm)
3. Ust Imron Rosyadi Syakur
4. K. Haris Zen
5. Ust Fikriyan (Sejarawan Tegalgubug)
6. Masduki Sarpin (Pakar Sejarah Cirebon)